Sunday, September 05, 2010

Day 19 : Beras Pandan Wangi.

‘Kreeeeek....’ Terdengar bunyi pintu kayu digeser.  Langkah kecil, masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam.

‘Assalamualaikum..!’ suara lantang keluar dari bibir Alif.

‘Waalaikumsalam’ Ibu menyahut lembut sambil melongokkan wajahnya dari balik tirai dapur. ‘Jangan terlalu kencang suara mu, sayang. Adik Sarah baru saja bobok...’ tetap dengan suara lembut, ibu berkata sambil memandang hangat pada Alif putra sulungnya yang berusia 8 tahun. ‘Ramai taraweh di masjid Lif? Bapak masih di masjid ya?’

‘Masih bu. Malam ini sepi... Bapak bilang mungkin karena sudah banyak tetangga kita yang berangkat mudik lebaran... Jadi pengen...’ Suara Alif terdengar kocak.

‘Mudik?’ Ibu tertawa renyah. ‘kan kita juga mudik setiap tahun, sayang...Ke engkong di Ciputat?’ Ibu menanggapi Alif sambil menggoda.

‘Bukan yang naik motor bu... naik kereta atau bus besar gitu lho! Seperti Nanang, Asrul, Mimi....’ Alif berjalan mendekati ibu di meja dapur, dan seketika lupa tentang urusan mudik. ‘Waaaah! Ibu bikin apa nih! Wanginya sampai di depan gang lho bu!’ mata Alif mulai menjelajah isi dapur yang mungil dengan hidung kembang kempis.

‘Alhamdulillah, ada pesanan lagi Lif... Untuk acara besok sore. Ibu belum masak apa-apa kok. Baru kupas-kupas bumbu. Alif ngarang ya, bilang sampai tercium di depan gang!’ Jari ibu menjawil hidung Alif. ‘Jangan-jangan Alif masih laper ya?’ Alif tersipu. Waktu berbuka tadi,  padahal Alif sudah makan cukup banyak.

‘Ibu lagi rebus singkong lho.. mau?’ tanya ibu. Kepala Alif langsung menggangguk cepat. Ketika ibu dan anak ini menikmati singkong rebus hangat, sebuah salam kembali terdengar.

‘Assalamualaikum...!’ suara bapak.

‘Waalaikumsalam....’ jawan ibu dan Alif.

‘Pak, ada singong rebus..masih hangat lho! Maknyuuuus!’ suara Alif tidak terdengar jelas karena mulutnya penuh mengunyah singkong.

‘Asiik! Hayo, habiskan isi mulut mu, baru bicara Lif!’ Tangan Bapak mengelus rambut Alif. ‘Bu, tolong siapkan buku cacatan bapak di atas lemari ya. Malam ini, ada tausiah Ustadz Rahmat di masjid. Bapak mau balik ke masjid jam 10 nanti.’ Setelah mencuci tangan di dapur, bapak bergabung duduk di meja dapur bersama ibu dan Alif.

Sambil beranjak menuju kamar, Ibu berbicara pada bapak ‘Pak, panitia zakat sudah sibuk ya?’

‘Alhamdulillah bu. Seperti biasa. Tahun ini lebih sibuk, karena panitia sekarang lebih canggih. Bisa jemput zakat ke rumah. Yang belum sempat datang ke masjid, jadi gak perlu repot....’ bapak mengunyah pelan singkongnya. “hayo Alif, sana siap-siap tidur. Biarpun sudah libur sekolah, bukan berarti bebas tidur sampai malam ya!’ Bapak mengedipkan sebelah mata pada Alif.

“Iya pak. Memang sudah ngantuk kok...’ Alif nyengir. ‘Tinggal sikat gigi, ku langsung tidur! Tidak lupa membaca doa....’ Alif berlalu sambil bernyanyi kecil. Bapak geleng-geleng kepala.

Keluar dari kamar ibu menyerahkan buku catatan bapak. ‘Yang ini pak?’ tanya ibu. Bapak mengangguk. Ibu kembali mendekat dan duduk di sebelah bapak. Menunggu suaminya selesai mengunyah potongan singkong terakhir.

‘Pak, zakat kita bagaimana?’ tanya ibu pelan.

‘Sudah bapak siapkan. Tapi belum disetor’ Bapak menepuk kantong koko lusuhnya.’Insya Allah malam ini juga bu...’ Bapak menatap ibu hangat.

‘Pak... sebulan ini kan kita pernah beli beras pandan wangi dua kali... Beras pulen itu lho pak.... Jadi... ehm, zakat kita seharga beras pandan wangi, kan pak? Bukan beras biasa?’ ibu bertanya pelan. Bapak tersenyum. Merasa dapat angin, ibu kembali bicara.

‘Subhanallah, rezeki kita bulan ini berlimpah... Bisa beli daging untuk semur... beli beras pandan wangi... Semata karena Allah sayang kita ya pak. Jadi inget waktu Alif makan semur kemarin. Dia kira semur itu dari berkat syukuran pak RT....’ Ibu tersenyum geli. ‘Jarang-jarang ibu masak daging, katanya... Kan malu sama Allah, kalau zakat kita seharga beras murah...’ Suara ibu makin pelan. Bapak tersenyum makin lebar.

‘Ya. Alhamdulillah’ Bapak menyahut tenang.

‘Pak... uang zakat kita berempat seharga beras pandan wangi kan?’ Kembali ibu bertanya, menuntut jawaban dari bapak. Sabar menanti bapak menjawab, ibu terlihat sedikit ragu.

‘Iya bu. Masing-masing seharga 3,5 liter beras pandan wangi’ Bapak berkata sambil tersenyum. ‘Bukan beras biasa.’ Ibu pun menghela nafas lega.’Bu, jadi belum ada kelebihan untuk beli jaket baru buat Sarah ya...’ Suara bapak bernada menggoda.

‘Pak, tadi selepas Isya, Bu Dila dari komplek depan datang. Alhamdulillah, mengantar satu tas baju layak pakai. Subhanallah pak! Masih bagus-bagus! Ada juga jaket yang pas untuk Sarah lho pak! Ada kemeja, celana panjang, bahkan ada beberapa potong blus lengan panjang buat ibu!’ Ibu bercerita sambil menggebu-gebu. ‘Itu kardusnya masih ada dekat motor bapak...’ Ibu menunjuk pojokan dekat pintu masuk, tempat motor tua bapak terparkir.

‘Alhamdulilah....’ Bapak penuh senyum syukur.

‘Jadi pak, dana yang kemarin sempat kita siapkan untuk beli jaket baru Sarah, bisa diinfaqkan saja Pak! Alhamdulillah, Sarah sudah ada jaket baru. Lebaran nanti bisa naik motor tanpa khawatir masuk angin lagi! Ibu juga punya blus baru! Bapak ada celana baru! Baju koko Alif, sudah ibu jahit sedikit bagian bawahnya. Siap untuk hari raya!’ Ibu semakin bersinar-sinar.

‘Ya bu. Kita infaqkan saja kelebihan dana hari raya ya. Insya Allah, barokah!’ Bapak mengangguk setuju dengan permintaan ibu. Memandang istrinya yang selalu bersahaja, membuat Bapak hampir-hampir tak tahan untuk membocorkan rahasia.

Seandainya Ibu tahu, siang ini di kantor, bapak mendapat bonus masa kerja yang tak terduga sebesar 5 juta, Ibu mungkin langsung pingsan. Bapak tersenyum penuh bahagia.

Memandang binar-binar ceria hari raya di mata Siti, istrinya. Yang sejak menikah selalu bersahaja. Yang sendal jepitnya hampir putus. Yang jilbab panjangnya hanya ada 2. Yang kaos kakinya sudah penuh tambal sulam benang jahit....Yang tidak pernah meminta selain menerima, yang selalu mendoakannya dengan ketetapan hari seorang istri shalihah...

‘Bu... tadi siang di kantor... Bapak dipanggil Pak Soleh, kepala gudang... ‘ Bapak mulai berkata pelan.

‘Ada apa pak?’ Suara ibu sedikit siaga.

‘Ini. Terserah ibu mau buat apa... Bapak saja masih seperti mimpi menerimanya....’ Bapak menyerahkan amplop coklat ke tangan ibu.

‘Apa ini Pak?’ Ibu ragu menerima amplop dari bapak.

“Insya Allah halal bu. Mungkin Allah tahu, ibu mau zakat kita seharga beras pandan wangi tahun ini....’ Mata bapak berkaca memandang istrinya penuh cinta. 

(Bintaro, tiba-tiba merasa melow mendekati akhir Ramadan ....)

2 comments:

  1. aku merasa kayak lagi nonton Lorong Waktu! Jleeeeeep banget ini ceritanya, mereka masih bs bersyukur dan berbagi, kalo aku...................maunya doang banyak, hehehe tapi mudah2an jangan sampai lupa bersyukur dan berbagi deh

    ReplyDelete
  2. Jadi pengen nonton 'Lorong Waktu'.... :) *Ku nantikan postingan mu yaaaa.... Ya ampun, gak terasa hampir sebulan!

    ReplyDelete