Tuesday, December 06, 2011

a sense of gratitude (2)

Inget deh. Naik kelas 3 SD, saat temen-temen sudah berganti seragam dengan baju-baju baru yang lebih besar dan batik berwarna cerah, gue masih harus memakai kemeja berwana pudar dan sudah kekecilan. Ketika temen-temen yang lain gonta-ganti sepatu, gue puas bisa pake sepatu merk ‘kasogi’ dengan kaos kaki kedodoran warna butek. 

Sampe kelas 3, gue masih ikut naik jemputan. Yang juga bayarnya sering kali nunggak. Terus gue mulai berani pulang naik mikrolet atau mini bus Cililitan – Bogor, ikut-ikutan seorang temen yang bagi gue saat itu ‘jagoan’ banget. Namanya Nuriz. Rumah dia di depok timur. Lebih jauh dari rumah gue. Tapi dia berani naik mobil umum. Gue pun akhirnya ikut-ikutan. Begitu sukses, langsung berhenti naik jemputan. Lumayan, nyokap bisa lebih irit gak perlu bayar jemputan. Karena naik mikrolet ongkosnya lebih murah. Biar gak boros, yang mustinya naik ojeg dari simpang auri, gue milih jalan kaki sampe rumah. Irit.

Jaman SD, gue bukan kategori murid pintar. Biasa aja. Tapi syukurlah gue bisa lulus dengan nilai memuaskan. Gue seneng, karena bisa bikin nyokap dan bokap bangga dan berhasil masuk ke SMP negeri favorit di DKI, SMP 49 Kramat jati yang jaraknya lebih jauuuh lagi dari rumah. Setiap hari, jam 5.30 gue udah berangkat! Fiuuuuh. Tapi kehidupan SMP gue, gak jauh beda dengan di SD. SPP masih suka nunggak. Pernah di kondisi amat susah, gak ada ongkos buat ke sekolah dan gue pun bolos dengan alasan sakit. Pernah terjadi. Pernah juga gue dapet rok lungsuran dari kakak sepupu. Karena pendek di atas lutut, gue kena hukuman. Memalukan banget rasanya. Rok di-dedel dimuka umum sama seorang guru killer. Tapi gue gak cengeng sih. Orang tua gue, gak ajarin gue untuk menyesali hidup. Biar pahit, harus berani ditelan dan dinikmati. Bisa pegang cokelat silverqueen, rasanya keren banget waktu itu.

Sayangnya gue lulus SMP dengan nilai biasa-biasa aja. Pas untuk tetep bisa diterima di sebuah SMU negri yang cukup favorit juga, SMU 39 Cijantung. Sementara kondisi ekonomi keluarga, masih begitu-begitu aja. Normal seperti ABG puber lain, di umur segitu gue punya banyak banget keinginan, yang berbanding lurus dengan banyak biaya. Ya nonton bioskop lah, kumpul sama temen nge-bakso lah, ekskul ini itu lah, nyobain cream bath di salon lah, aaah pokoknya banyak. Tapi biar banyak kemau-an, gue selalu gak tega minta ke nyokap. Syukur Alhamdulillah, suka ada om atau tante yang kasih gue duit jajan. Mungkin mereka tau ya, gimana kondiri keluarga kami. Ih, jadi sedih deh kalo inget. Nah duit-duit dari mereka lah, yang bikin gue bisa nyicip nonton bioskop dan sejenisnya. Duit angpao lebaran, gue sayang-sayang luar biasa. Diirit-irit biar tahan lama.

Kira-kira waktu gue naik kelas 3, di kantornya, nyokap dapet kesempatan untuk ikut pendidikan sekretaris. Oleh seorang bos-nya yang baik banget, nyokap akhirnya bisa naik derajat jadi sekretaris divisi. Dengan kata lain, ada peningkatan gaji dan tunjangan. Sedikit demi sedikit senyum kami makin manis. Biarpun sepatu  tetep 1, baju juga gak banyak, tapi setidaknya tidak ada lagi hari-hari sedih gak sekolah karena gak ada ongkos. Tiba-tiba, gue jadi punya harapan untuk bisa lanjut kuliah. Sesuatu yang dulunya gak berani gue impiin. Dan nyokap pun bilang ke gue, biarpun dia harus berkeringat darah, gue harus kuliah. Gak boleh berhenti sampe SMU aja, dan bernasib seperti nyokap. Sebuah wujud cinta ibu, yang tak akan terbayar. 

a sense of gratitude (1)

I know that I should start to write something. But after ‘two months full of lazy-ness’ rasanya susaaaah banget untuk mulai menulis sesuatu.  Untuk mencari ide topik yang menarik aja, selalu merasa terlalu malas. Huaaah!!! 

Dari awal, gue selalu berusaha menghindar untuk nulis sesuatu yang membuat blog ini makin hari makin mirip ---dan bisa jadi gak ada lagi bedanya--- sama buku harian. Kalau sudah berubah ‘tone’ macam itu, bisa dipastikan isinya akan lebih banyak keluh kesah dan penuh keinginan ini-itu gak penting yang kemungkinan besar susah buat diwujudkan. Mimpi bermimpi. Kuadrat.

Ehm...

Tapi setidaknya, gue pengen cerita. 1 kali saja, cukuplah. Tenang gue. Tulisan ini, gue dedikasikan untuk diri gue sendiri. Dengan harapan semoga gue selalu bisa belajar dan makin pandai bersyukur dengan apa yang pernah gue punya, dulu dan sekarang... Semoga.

Bisa dibilang, gue tumbuh besar dengan kondisi prihatin. Kedua orang tua gue, kalau di keterangan sensus penduduk akan masuk di area pra-sejahtera. Sejak kecil, gue hidup dalam kondisi ‘pas’. Nyokap, memang kerja sebagai pegawai Bank milik pemerintah. Tapi dengan latar belakang pendidikan-nya yang hanya SMA, maka jenjang karir-nya mentok jadi pelaksana golongan D. Bokap, pernah menjadi seorang Jaksa. Gak lama gue lahir, bokap memutuskan berhenti jadi pegawai negeri. Entah apa pertimbangannya.

Berjalan waktu, bokap usaha kanan kiri. Bisa dibilang ‘ikut’ orang. Bisnis segala macam. Bisnis-nya banyak. Yang berhasil, hampir gak ada. Tapi bokap tipe yang setelah jatuh buru-buru berdiri. Alhamdulillah biarpun hampir selalu gagal, bokap gak pernah sampe punya masalah hutang, apalagi hukum. Biar pra-sejahtera, keluarga kami cukup tentram jauh dari urusan yang satu itu.

So, adalah nyokap yang menyokong hidup kami sehari-hari. Berangkat kerja pagi buta, pulang menjelang magrib. Selama puluhan tahun. Tanpa banyak mengeluh. Tanpa mengeluh. Berangkat kerja dengan senyum, pulang dengan senyum. Puluhan tahun.

Kami tinggal di rumah milik kakak-nya nyokap. Atas kebaikan hati mereka, kami boleh tinggal di sana. Puluhan tahun. Sesuatu yang hingga hari ini, gue anggap sebagai berkah Allah terbesar untuk kami sekeluarga. Sebuah kebaikan, yang tak akan bisa kami bayar.

Dalam segala keterbatasan, kedua orang tua gue cukup maksa untuk urusan pendidikan. Dengan kondisi ngepas, mereka sekolah-kan gue ke sebuah SD swasta Islam yang untuk ketegori wilayah Jakarta timur ngetop lah. Memang gak semewah sekelas Al Azhar. Tapi SDI PB Sudirman Cijantung ini, masuk kategori mahal untuk orang tua gue. Waktu itu lebih dari 20 tahun lalu, SPP-nya Rp15.000,-. Angka segitu pun disesuaikan dengan pendapatan bulanan orang tua. Temen –temen gue yang lain, SPP-nya lebih besar dari itu. Biarpun termasuk yang ‘murah’ gue sering nunggak. Emang gak sampe berbulan-bulan sih. Tapi biasanya gue bayar SPP setelah tanggal 25. Sehabis nyokap gajian. 

Tuesday, November 01, 2011

My easy-Sunday-morning @Sabang16

Kembali naik transJKT, gue dan Anggi turun di shelter Bank Indonesia. Jalan kaki sedikit, sampailah di ujung Jalan Sabang. Berbelok 5 meter, langsung terlihat  tujuan kami siang itu, Sabang16. Sebuah coffee shop mungil, tepat bersebelahan sama kopi tiam oey-nya Pak Bondan. Udah banyak yang denger tentang tempat ini kan?

Seandainya pun penuh, gak mungkin isinya lebih dari 25 orang. Mungil. But nyaman lah. Siang itu, Sabang16 cukup rame. Yang suka nongkrong di sini, konon memang mereka yang udah cukup dewasa. Eh, gue gak bilang tua ya! Yah, kategori mereka-mereka yang terlihat sudah seattle sama karirnya, gadget mania, dan seneng kumpul sama sahabat-sahabatnya. Pokoknya alay-free deh. Kata Anggi, seandainya kami bawa laptop pasti betah nongkrong di situ seharian.

Menu-menunya, standar coffee shop. Harga, bisa gue bilang amat bersahabat. Menu yang beda, tersedia es krim khas medan. Interior, menyenangkan. Hangat, dan bersahabat. Gak berkesan dingin atau arogan. Klo pun ada milyader yang seneng ke sini, dia pasti akan tampil bersahaja, seperti coffee shop ini. Siapa sih ya, yang punya? Hahahahhaha....

Gak terpasang musik genre tertentu. Sebuah TV, menyala tanpa ada yang tertarik nonton. Tiap orang terlihat seru dengan pembicaraan masing-masing. Mereka yang punya PD lebih, terlihat nyaman bersuara lebih kencang, sehingga penghuni meja lain bisa ikutan denger obrolan mereka. Yah, khas attitute mereka yang suka ngumpul + ngupi lah. *eh, gitu gak sih? :P

Seperti biasa, biapun judulnya coffee shop, gue lebih pilih teh. So, ini lah minggu pagi (sampai siang) gue yang terasa menyenangkan. Sederhana, gak perlu banyak keluar dana, but fun. See you, in my other ‘easy-Sunday-morning story’ yaaa.... *hugs














Monday, October 31, 2011

My easy-Sunday-morning @kota-toea 2

Puas di sini, berikutnya, kita menuju area pejalan kaki untuk masuk area wisata kota toea. Masya Allah..... lautan manusia booook! Rame luar biasa... Hampir gak ada beda sama ragunan deh kayaknya. Penuh pengunjung, tukang dagangan makanan, cindera mata. Jujur gue rada kecewa. Bukan ini yang gue harapkan.

Ngeliat penuhnya area ini, gue jadi headache. Apalagi panasnya Jakarta makin kejam menjelang tengah hari. Sebenernya, jajaran tukang jualan, sempet menggoda iman gue. Sebagai pecinta cireng sejati, hampir histeris rasanya ngeliat gerobak penjual cireng bandung. Gak cuma itu, you named it lah. Penjual es potong, ciolok, bakso, ketoprak, otak-otak goreng, somay, huaaaa penuuh.

Sekedar biar ga penasaran, gue seret juga nih kaki keliling area ini. Dan sepertinya kota toea masih jadi hot destinasi bagi mereka-mereka yang berencana bikin foto pre-wed. Oh may, apa sih yang mereka pikirin... *geleng-geleng kepala. Kata Anggi, ada gedung-gedung tua tertentu yang memang photogenic di area ini.

Museum wayang, museum fatahillah. Penuh! Full house! But somehow, baguslah ya, anak-anak muda republik ini punya minat tinggi masuk museum. Walaupun tetep banyak yang curi-curi kesempatan pacaran. *di museum? Peliiiis laaaa!

Masuk ke museum bank tadi, GRATIS. Sementara museum lain, kita diminta bayaran 2000IDR untuk setiap orang. Murah lah. Kalau dihitung sama ilmu yang bisa didapet, ini wajib dikunjungi sekali-sekali. Sebelum tengah hari, gue dan Anggi sepakat meninggalkan kota toea. Suatu hari nanti balik ke sini lagi, semoga gak sepenuh ini....
Next? Time to chill-out beibiii... To jalan Sabang we go!
































My easy-Sunday-morning @kota-toea 1

Setelah seminggu berencana, akhirnya jadi juga minggu pagi lalu gue dan seorang sahabat ‘jalan’ lihat-lihat seperti apa kawasan kota tua, Jakarta. Bermodalkan jalan kaki, sebotol air minum, dan kamera pocket standar yang sama sekali gak canggih, gue dan Anggi berangkat for the sake mencari kepuasan mata.

Jam 9 pagi, kita sudah duduk manis di dalam transJKT menuju shelter Jakarta Kota. Biarpun baru jam 9, panasnya-nya Jakarta terik kuadrat. Sejujurnya, gue buta nih dengan area ini. Duluuuu jaman sekolah, pernah sih study-tour masuk museum di sekitar sini. Tapi udah basi, kelamaan.

Pernah juga baca di beberapa blog, tentang serunya wisata museum di kota toea. So, masih dengan semangat tinggi, kita masuk museum bank mandiri. Huaaa... sumpe deh, bukan karena gue pernah handle account bank ini, yang bikin gue pengen liat-liat isinya... :P

Untuk gue dan Anggi yang awam dunia sejarah per-bankan, masuk di museum ini, tetep terasa seru kok. Puas lihat-lihat, berikutnya masuk ke museum bank Indonesia. Kenapa kok jadi museum bank semua ya? Heheheheh pasti semata karena kebetulan aja kan, letaknya sebelahan?

OK ngaku deh, awalnya gue under-estimate isinya museum bank Indonesia ini. Begitu masuk, terbukti gue salah besar. Kalo kata si Anggi, masuk sini serasa gak di Indonesia. Ini dia nih, wujud ideal sebuah museum. Nyaman, dingin, tata ruangnya cantik, info-infonya di-desain gak monoton. Menyenangkan! Bagian favorit gue, ketika masuk di area mata uang. Di rak-rak kaca besar yang tersusun rapih, disimpan ribuan jenis mata uang dari seluruh negara di dunia. Jelas lah seru buat gue dan Anggi, mencari-cari uang kertas negara mana yang disain-nya menarik...