Wednesday, August 08, 2012

Hi how are you, Me?

Aku gak inget kapan terakhir nulis di blog ini. Oh, sudah berbulan lalu. So here I'm. Duduk di kursi depan kopaja P20, dan bersyukur bisa sambil menulis sesuatu di gadget ku yang sudah banyak meronta. Minta diganti.

Ehm. Sejak mei lalu, simponi hidup ku beneran seperti sebuah lagu. Ada intro-nya, refrain, balik lagi ke atas, diulang satu atau dua kali, refrain lagi, ending.

Sejak bulan Mei, aku anak yatim. Kisah sedih ku. Aku yatim. Tepatnya 27 mei, selepas adzan magrib, bapak tercinta berpulang menyempurnakan fitrahnya sebagai manusia. Kembali pada sang Khalik. Sang pemilik kuasa.

Sekarang, pertengahan Agustus. Tapi rasanya rongga dan kelenjar air mata masih memiliki daya spontan tinggi untuk berproduksi tiap kali aku teringat almarhum bapak.

Di-keterbatasannya, di-ketidaksempurnaannya sebagai bapak, dia mewarnai hidup ku dalam ribuan cara. Ternyata, dia begitu berarti. Almarhum bapak, biang utama, penyebab aku menjadi aku hari ini.

Aku bisa menulis berlembar-lembar memoar dan memori tentang bapak. Dari yang banyak itu, aku ingat jelas beberapa hal, seperti aku akan selalu ingat jenis kelamin ku.

Di masa-masa menjelang tutup usia, bapak selalu cemas. Antara pengaruh sindrom dimensia, dia kerap 'meracau'. Meracau, yang selalu membuatku amat bangga terlahir sebagai anak-nya. Dia cemas, takut, sekalau sampai tertinggal waktu shalat. Karena bagi bapak, tiang tidak boleh bergeser apalagi sampai roboh. Tiang hidupmu, shalat mu.

Sebentar. Aku harus membendung air mata ku dulu. Malu, di kopaja.

Di suatu malam, di kedai pecel lele. Di pinggir mampang raya, depan JMC. Di kali terakhir almarhum bapak di rawat di sana. Sambil menunggu pesanan nasi uduk, dalam diam, aku panjatkan doa. Ku rasa, itu termasuk doa ku yang paling sungguh-sungguh seumur hidup ini. Aku memohonkan untuk bapak-ku, sebuah ending husnul khotimah. Doaku dalam diam.

Di senja 27 Mei selepas magrib itu, bapak berpulang dalam kedamaian. Sebelumnya, dia punya harapan, agar ketika malaikat izrail datang menjemput, bapak berada dalam pelukan kami bertiga: mama, aku, adek. Allah mengabulkan harapan bapak, walaupun tidak persis seperti yang dia harapkan. Saat kami bertiga bergantian shalat magrib, selayaknya orang tertidur, diam-diam bapak sudah bertemu izrail.

Sebuah scene sudah tersimpan rapi dalam folder di dalam kisi-kisi memori otak ku. Berpulang-nya bapak, adalah gabungan antara rasa duka, takjub, syahdu, syukur. Kedua matanya tertutup rapat. Tangan terlipat lemas. Damai. Semoga, sebuah tanda berpulang yang husnul khotimah....

Hingga almarhum selesai dimakam-kan, waktu rasanya bergerak dalam pusaran gagu. Tubuh ku terasa kaku, bergerak mengikuti ritme satu-persatu.... Menerima ucapan duka, dari tetangga, saudara-saudara... Dan betapa almarhum bapak, ternyata memiliki banyak
sahabat yang menyayangi dia...

Dan ku lihat mama-ku. Dalam ketegarannya yang lebih kokoh dari gunung batu. Dengan ketabahannya, menjalan-kan satu-persatu wasiat dan pesan almarhum suaminya dalam tingkat kepatuhan absolut.

Malam duka itu, ku peluk mama. Ku bisik-kan ucapan selamat dengan haru. Selamat, karena mama telah berhasil melalui ujian dari Allah bertahun-tahun merawat suami-nya yang sakit. Semoga, aku bisa mencontoh teladan dari kedua orangtua ku yang luar biasa ini.

Yah.... Itu kisah ku di akhir Mei lalu. Sekarang, dengan kemampuan yang aku punya, aku cuma pingin bikin mama bahagia. Ingin rasanya, sedikit membayar jerih payahnya selama puluhan tahun ini.

Di sepanjang bulan Juni, masa-masa recovery hati... Ku habiskan lebih banyak waktu menginap dan tidur bersama mama. Pelan-pelan kami berbenah ini itu. Sambil bertukar cerita, kenangan-kenangan kami bersama bapak... Pelan-pelan, Allah sembuhkan luka kami. Namun di tempat luka itu muncul, jelas ada bekas yang gak akan bisa hilang.

Juni hilang, umurku bertambah. Makin tua, makin sedikit sisa-nya.

Juli datang. Dengan banyak nada. Di kantor, sebuah perubahan dirancang. Berganti partner, bertambah brand, nambah bos, pindah duduk... Semuanya menyerap banyak energi ku. Meskipun terlalu cengeng kalau sampe ku bilang melelahkan. Well, kan nothing last forever tho?

Sayangnya, beradaptasi, bukan skill ku yang menonjol. Jujur, malah cenderung menjadi kelemahan. Itu makanya, aku harus struggle mem-push diri sendiri untuk selalu positif dan open-minded with less drama, pastinya.