Tuesday, December 06, 2011

a sense of gratitude (1)

I know that I should start to write something. But after ‘two months full of lazy-ness’ rasanya susaaaah banget untuk mulai menulis sesuatu.  Untuk mencari ide topik yang menarik aja, selalu merasa terlalu malas. Huaaah!!! 

Dari awal, gue selalu berusaha menghindar untuk nulis sesuatu yang membuat blog ini makin hari makin mirip ---dan bisa jadi gak ada lagi bedanya--- sama buku harian. Kalau sudah berubah ‘tone’ macam itu, bisa dipastikan isinya akan lebih banyak keluh kesah dan penuh keinginan ini-itu gak penting yang kemungkinan besar susah buat diwujudkan. Mimpi bermimpi. Kuadrat.

Ehm...

Tapi setidaknya, gue pengen cerita. 1 kali saja, cukuplah. Tenang gue. Tulisan ini, gue dedikasikan untuk diri gue sendiri. Dengan harapan semoga gue selalu bisa belajar dan makin pandai bersyukur dengan apa yang pernah gue punya, dulu dan sekarang... Semoga.

Bisa dibilang, gue tumbuh besar dengan kondisi prihatin. Kedua orang tua gue, kalau di keterangan sensus penduduk akan masuk di area pra-sejahtera. Sejak kecil, gue hidup dalam kondisi ‘pas’. Nyokap, memang kerja sebagai pegawai Bank milik pemerintah. Tapi dengan latar belakang pendidikan-nya yang hanya SMA, maka jenjang karir-nya mentok jadi pelaksana golongan D. Bokap, pernah menjadi seorang Jaksa. Gak lama gue lahir, bokap memutuskan berhenti jadi pegawai negeri. Entah apa pertimbangannya.

Berjalan waktu, bokap usaha kanan kiri. Bisa dibilang ‘ikut’ orang. Bisnis segala macam. Bisnis-nya banyak. Yang berhasil, hampir gak ada. Tapi bokap tipe yang setelah jatuh buru-buru berdiri. Alhamdulillah biarpun hampir selalu gagal, bokap gak pernah sampe punya masalah hutang, apalagi hukum. Biar pra-sejahtera, keluarga kami cukup tentram jauh dari urusan yang satu itu.

So, adalah nyokap yang menyokong hidup kami sehari-hari. Berangkat kerja pagi buta, pulang menjelang magrib. Selama puluhan tahun. Tanpa banyak mengeluh. Tanpa mengeluh. Berangkat kerja dengan senyum, pulang dengan senyum. Puluhan tahun.

Kami tinggal di rumah milik kakak-nya nyokap. Atas kebaikan hati mereka, kami boleh tinggal di sana. Puluhan tahun. Sesuatu yang hingga hari ini, gue anggap sebagai berkah Allah terbesar untuk kami sekeluarga. Sebuah kebaikan, yang tak akan bisa kami bayar.

Dalam segala keterbatasan, kedua orang tua gue cukup maksa untuk urusan pendidikan. Dengan kondisi ngepas, mereka sekolah-kan gue ke sebuah SD swasta Islam yang untuk ketegori wilayah Jakarta timur ngetop lah. Memang gak semewah sekelas Al Azhar. Tapi SDI PB Sudirman Cijantung ini, masuk kategori mahal untuk orang tua gue. Waktu itu lebih dari 20 tahun lalu, SPP-nya Rp15.000,-. Angka segitu pun disesuaikan dengan pendapatan bulanan orang tua. Temen –temen gue yang lain, SPP-nya lebih besar dari itu. Biarpun termasuk yang ‘murah’ gue sering nunggak. Emang gak sampe berbulan-bulan sih. Tapi biasanya gue bayar SPP setelah tanggal 25. Sehabis nyokap gajian. 

No comments:

Post a Comment